Jakarta-Teropongmalut.com, Dalam rangka mewujudkan PEMILU 2019 yang Aman, Damai dan Demokratis, ijinkan kami untuk turut berperan serta melalui sedikit sanggahan/kritikan kami tentang penerapan “System Noken” di Tanah Papua dengan menggunakan kacamata ANTROPOLOGIS. Selaku Ketua Dewan Pimpinan Nasional Bidang Kajian Strategis dan Kebijakan Publik Gerakan Rakyat Cinta NKRI (Gercin-NKRI), Petrodes M. Mega S. Keliduan S. Sos. dalam keterangan persnya di Jakarta, Jumat, (04/01/2019), mencoba menjelaskan secara antropologis.
Petrodes menjelaskan menurut kami bahwa pengesahan ‘system noken’ melalui beberapa putusan MK yang dikeluarkan dalam menjawab konflik sengketa pada beberapa kali pesta demokrasi di Tanah Papua sebagaimana dijelaskan bahwasanya penerapan system tersebut sesuai budaya masyarakat asli Papua, adalah sebuah ‘Kesalahan Fatal’ karena tidak melalui kajian-kajian ilmiah sebagai materi penguatan atas keputusan tersebut. Terutama kajian antropologis dan hal tersebut diatas dapat kami pertanggungjawabkan dalam wilayah kajian kami sebagai antropolog muda papua sebagai berikut:
1. Noken itu Bahasa Biak (Salah satu suku dari daerah pesisir papua) bukan bahasa dari suku-suku yang ada di wilayah pegunungan tengah – Papua; Inoken/Inokson di Biak saja tidak di berlakukan “System Noken’, mengapa di tempat lain digunakan ?.
2. Noken itu seni kerajinan tangan “Menganyam”, dibuat untuk pakai isi hasil kebun, bukan untuk pakai pemilu, jadi kalau ditinjau dari fungsi dan kegunaanya, sudah melenceng dari nilai-nilai budaya dan kearifan lokal dari Noken dimaksud.
3. Tidak ada system politik tradisional di Tanah Papua yang menjadikan noken sebagai simbol demokrasi.
4. Yang terakhir, Adalah suatu kesalahan fatal jika “system ikat suara” dalam system noken ini dipakai untuk mengklaim suara di TPS yang penduduknya HETEROGEN. Karena system ikat suara ini dilakukan apabila telah disetujui dalam pertemuan adat di komunitas adatnya sendiri. Pada pertemuan itu akan keluar kesepakatan siapa tetua adat/yang memiliki kapasitas adat pada komunitas itu yang berhak untuk mewakili komunitas adatnya mencoblos pilihan yang sudah disepakati secara bersama melalui moment adat. Jadi kalau misalnya ada 1 TPS yang di dalamnya ada beberapa pemilih yang bukan dari komunitas adat tersebut sebenarnya harus diberi kebebasan untuk menentukan pilihannya berdasarkan hati nuraninya.
“Sebenarnya setelah dikaji lebih jauh lagi secara antropologis baik itu dari sisi sejarah asal usul noken, fungsi dan kegunaannya, serta pesan-pesan filosofi dari noken ini, banyak hal yang tidak bersinggungan dengan penerapan ‘system noken’ dalam pesta demokrasi di Tanah Papua,” ujar Petrodes.
“Kami dapat simpulkan bahwasanya penerapan ‘system noken’ pada pesta demokrasi di Tanah Papua ini adalah suatu tindakan yang bisa dikategorikan sebagai perbuatan ‘Incest/Tabuh’.
Tindakan ini nyata-nyata adalah tindakan yang memperkosa nilai-nilai kearifan lokal dari NOKEN tersebut sebagai karya seni kerajinan tangan dari suku Biak,” tutur Petrodes.
“Ini murni diciptakan oleh elit politik dan untuk kepentingan politik kekuasaan…! dan bukan dalam rangka melestarikan ataupun mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung didalamnya, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Mahkamah Konstitusi RI. Oleh sebab itu, melalui kesempatan ini, kami minta kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia agar dapat meninjau dan menarik kembali keputusan-keputusan yang dikeluarkan dalam mengakomodir ‘system noken’ pada pesta demokrasi di Tanah Papua. Sebab penerapan system noken sudah sangat nyata-nyata melenceng dari asas manfaat dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Tidak hanya itu, system noken ini sudah terbukti telah memicu beberapa konflik lintas suku di Tanah Papua dan memakan korban, beberapa asset negara seperti kantor KPU dibakar dan beberapa kasus lainnya. Jika terus dibiarkan akan berakibat fatal bagi kehidupan sosial budaya di Tanah Papua dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia,” tegas Petrodes. (fri)