HAL-SEL | TeropongMalut.com – Kasus dugaan penyalahgunaan kewenangan kembali mencoreng wajah pelayanan publik di desa. Kali ini, Kepala Desa Tawa, Kecamatan Kasiruta Timur, Kabupaten Halmahera Selatan, Bahtiar Hi. Hakim, harus berhadapan dengan hukum setelah dilaporkan oleh warganya sendiri atas dugaan penipuan dan penggelapan dana santunan kematian dari BPJS Ketenagakerjaan.
Laporan tersebut dilayangkan Raisin Jalil—anak dari almarhum Jalil Ibrahim—pada Rabu, 23 Mei 2025 ke Polres Halsel dan telah ditindaklanjuti dengan surat panggilan resmi bernomor: B/54/IV/2025/SPKT.
Menurut Raisin, pihak keluarga seharusnya menerima dana santunan sebesar Rp41.900.000, namun yang sampai ke tangan ahli waris hanya setengahnya. Sisanya sebesar Rp21.900.000 dipotong sepihak oleh sang Kades. Alasan pemotongan disebut untuk keperluan administrasi sebesar Rp2 juta, dan selebihnya sebagai “dana antisipasi” bagi warga desa lain yang belum terdaftar BPJS tapi mengalami musibah.
“Tidak ada musyawarah, tidak ada kesepakatan. Ini murni perampasan hak keluarga kami,” tegas Raisin kepada media.
Ironisnya, klaim Bahtiar bahwa pemotongan telah disepakati lewat musyawarah desa langsung dibantah oleh Ketua BPD Desa Tawa, Masri Abdula.
“Itu bohong. Tidak pernah ada rapat desa membahas pemotongan dana ini. Dana itu adalah hak penuh ahli waris. Manipulasi seperti ini tidak bisa dibiarkan,” ujar Masri tegas.
Yang lebih mengejutkan, Raisin mengungkapkan bahwa saat proses klarifikasi di Polres, Kades Bahtiar sempat melontarkan nada ancaman.
“Dia bilang, ‘Ini bukan uang dari jual cengkeh dan kopra, lalu kalian lapor saya. Saya juga akan lapor balik kalian karena pencemaran nama baik,’” tutur Raisin menirukan ucapan sang Kades.
Hal ini mendapat tanggapan dari praktisi hukum Safridhani Smaradhana, SH. “Secara hukum, tindakan yang dilakukan oleh oknum Kades dapat dikategorikan sebagai penipuan dan/atau penggelapan sebagaimana diatur dalam Pasal 378 dan Pasal 372 KUHP, dengan ancaman pidana maksimal 4 tahun penjar“. Ucapnya.
Lebih jauh, jika terbukti menggunakan jabatannya untuk keuntungan pribadi, maka ia juga dapat dijerat Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur soal penyalahgunaan wewenang.
Tindakan memotong dana santunan tanpa persetujuan ahli waris juga mencoreng kode etik aparatur desa, yang mengharuskan setiap kepala desa bertindak jujur, adil, dan transparan dalam pelayanan publik. Hal ini melanggar Permendagri Nomor 83 Tahun 2015 tentang Kode Etik Kepala Desa.
Kini publik menanti keseriusan aparat penegak hukum dalam mengusut tuntas kasus ini. Apakah hukum akan berpihak pada rakyat kecil, atau membiarkan praktik-praktik penyalahgunaan wewenang terus berulang?
(Redaksi)